Novel Galila, Ketika Cinta Kalahkan Perbedaan

Sabtu, 19 April 2014 | 18:23 WIB
Jakarta - "Galila." "Hanya Galila?" "Tanpa nama belakang?". Percakapan singkat tersebut tertulis dalam novel Galila yang ditulis Jessica Huawe. Novel yang diluncurkan penulis berdarah Ambon dan Batak ini pada Rabu, 16 April 2014, di Kinokuniya, Plaza Senayan, Jakarta Selatan, merupakan novel ketiga mantan wartawan Femina, Cita Cinta, MRA Grup, dan Media Grup ini. Sebelumnya Jessi, sapannya, menulis novel Soulmate.Com dan Remang-Remang.

Bagi Jessica, Galila merupakan sebuah novel yang menjadi jati dirinya sebagai wanita yang memiliki ayah berdarah Ambon dan ibunya Sumatera Utara atau Batak. Dia menuturkan, sempat merasa tidak punya akar budaya. "Berasa Ambon banget juga enggak, Batak banget juga enggak. Aku berasa jadi anak Jakarta. Dari daerah Ambon aku belajar tentang keceriaan dan seni, sementara dari Batak tentang keluarga," kata istri Reza Thaher ini.

Kegalauannya sirna kala dia akhirnya pulang kampung untuk pertama kali ke tanah kelahiran sang ayah di Kota Saparua, Maluku. Keindahan alam dan keramahan masyarakat setempat memukaunya. Jessi merasa punya tanah leluhur yang dibanggakan dan bertekad untuk membuat cerita mengangkat budaya Maluku.

Satu pencetus yang membuatnya meracik Galila adalah ketika sepupu mengutarakan keinginannya untuk melihat Ibu Kota. Dia mengaku keheranan dengan keinginan sepupunya karena Maluku sangat indah di matanya.

Jessica saya sadar Ibu Kota masih jadi tempat impian untuk orang-orang di daerah. Dia pun membuat cerita tentang tokoh Galila yang merantau ke Jakarta. Idenya berkembang dan dia ingin mengangkat unsur budaya lain yang berbeda dengan Maluku. Batak dipilihnya karena budaya tersebut dekat dengan kehidupannya sebagai peranakan Batak-Ambon.

Novel ini menceritakan tentang cinta yang mengalahkan perbedaan. Tentang Galila, karakter perempuan penyanyi kampung asal Maluku yang berhasil menaklukkan Ibu Kota.

Dalam novel sebanyak 331 halaman yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama ini, menceritakan seorang wanita yang tak lepas dari rasa dan perenungan tentang sejauh kaki melangkah, akhirnya takkan pernah bisa meninggalkan titik di mana kita mengawali langkah ini.

"Jessi itu penulis yang pintar. Pengalaman bergaulnya membuat novel ini tidak membosankan dan saat dibaca seolah kita berada di sana. Saya suka karya Jessi yang sederhana, ngetren ala masa kini dengan bahasa yang mudah dicerna," kata Widi Mulia, personel Be3 yang hadir dalam acara ini.

Pemahamannya menghadirkan sosok penyanyi dan diva berkelahiran Batak dan Ambon pas dengan tokoh Galila yang kompleks dan kekuatan karakter pribadinya.

Dalam novel ini, Widi memuji kejelian Jessi yang menghadirkan sosok Galila anak desa yang bermimpi menjadi penyanyi dan bintang besar kemudian saat akan menikah mendapat hambatan dari ibunya yang mempersoalkan tentang bibit, bobot, dan bebet. "Aku seorang ibu, tahu benar bahwa memang poin bibit, bobot, dan bebet penting dalam memutuskan pernikahan. Pokoknya seru membaca novel ini," kata Widi.

Sementara psikolog Rima Olivia menilai novel ini sebagai kompleksitas pribadi yang keras dan sangat mengakar. "Jessica begitu gigih menyajikan sosok Galila sebagai perempuan keras dan punya sikap mengakar dari akar budaya Jessica yang berayah Ambon dan ibu dari Batak. "Buku ini asyik, enggak rumit dan jujur menuturkan cinta adalah kekuatan yang mampu mengalah apa pun termasuk soal kasta dan perbedaan," kata Rima yang pendiri Ahmada Consulting ini.
 
http://www.tempo.co

0 komentar:

Posting Komentar